Nasehat AgamaTaujih

Refleksi dakwah (02) lanjutan

Dilema dalam sebuah keta'atan kepada guru

dilema ketaatan kepada guru2. Dilema dalam sebuah “keta’atan kepada guru.

Dalam tradisi Aswaja, ta’at kepada seorang guru adalah sebuah kewajiban mutlak yang tidak bisa ditawar. Keta’atan kepada guru akan mendatangkan keberuntungan dan keberkahan, dan sebaliknua kedurhakaan kepada guru akan mendatangkan petaka dan tercerabutnya keberkahan ilmu. Itulah yang kita yakini, dan segudang dalil yang tentu menyertai. Namun dalam organisasi pengajian, ada sedikit kritik mengenai ini.

Dalam pandangan Aswaja, pemilihan ilmu dan guru itu memiliki panduan khusus, tidak seperti orang mau membeli di market place. Ada kemauan, ada uang dan ada barang langsung bisa dimiliki. Tidak! Ilmu itu mahal. Ketika kita merujuk pada kitab taklim muta’alim (kitab aswaja), ada syarat untuk memilih seorang guru. Harus ada proses observasi, kenali guru mu, bagaimana keilmuannya?, bagaimana akhlaknya?. Kenali, jangan sampai salah pilih memilih guru, atau menganggap seorang itu menjadi guru!

Baru ketika sudah sreg, datangi ia. Minta izin dan ridha kepada beliau agar mau mengangkat menjadi muridnya. Atau setidaknya ungkapkan niat untuk belajar di majelisnya. Jika ada syarat yang diajukan sang guru, maka calon murid ini harus memenuhinya. Sekali lagi agar mendapatkan izin dan ridhanya. Ini penting ! Karena letak keberkahan ilmu awalnya ada disini.

Jika sudah sah, kewajiban *ta’at* kepada seorang guru otomatis melekat pada mu. Apakah kalian memahami konsekuensinya? Seperti kata Ali bin Abi Thalib Karamallahu wajhah:

 انا عبد لمن يعلمني حرفا منرالقرآن.

Saya adalah budak, bagi siapa yang mengajarkan saya satu huruf saja dari Al-Qur’an.

Maka jika kalian memahami sampai taraf ini, kalian para murid tidak akan bersikap sembrono. Kalian yang hanya budak ini, harus pandai menjaga sikap didepan seorang guru (tuan). Membuat sedih hati guru, atau membuat dirinya sangat marah cukup membuat kalian menjadi murid yang durhaka. Nau’dzu billah.

Problematika sekarang

Dahulu orang belajar dengan seorang guru suatu disiplin ilmu sampai waktu tertentu. Panjang durasi belajar tergantung kepada guru. Bisa cepat bisa juga lama. Semua didasarkan bashiroh seorang guru.Penentuan ilmu apa yang harus dipelajari, juga biasanya diatur oleh seorang guru. Jika guru berujar, “waktu belajar mu disini sudah cukup. Aku ijazahkan ilmu yang telah kamu pelajari untuk diamalkan. Sekarang silahkan kamu pergi ke syekh fulan untuk mempelajari ilmu ini…”

Maka seorang murid segera melaksanakan perintah sang guru.

Namun mari kita lihat cara belajar orang sekarang… Mencari guru sembarangan dan relatif asal. Keliatan ada sudah bisa iqra saja (contoh), langsung otomatis dianggap guru.Akhirnya dalam perjalanan ngajinya asal juga. Omongan guru sudah tidak sakral lagi, perintahnya bisa dikompromi, nasehatnya bisa dibantah, ajakannya untuk kebaikan diingkari, dan amanahnya mudah dikhianati. Jika suatu saat dia berselisih paham dengan gurunya,maka dengan entengnya dia sanggap perkataan gurunya didepan umum, sehingga harga diri guru terluka.

Dan jika taraf perbedaan terlalu besar, si murid ini dengan mudahnya keluar dari majelis tanpa salam, tanpa kalam. Maasya Allah..

Dan diperparah lagi, ketika sudah mendapatkan majelis yang baru dengan halalnya di ngomongin majelisnya yang lama. Menjelek-jelekan gurunya, dan mengumbar aibnya. Tanpa sadar bahwa tidak ada pernah yang namanya “mantan guru”. Guru adalah guru, sampai kapan pun.

Disinilah letak permasalahannya, ketika keta’atan berubah menjadi keingkaran…ketika cinta berubah menjadi benci, maka bagaimana mungkin berkah menghampiri? Bagaimana mau diajak memerangi paham Wahabi, lah wong jama’ah nya masih gagal paham dalam arti “keta’atan.”

3. Antara Qiyadah dan siyasah.

Pasti pernah kan menonton pertandingan sepakbola? Begitu indahnya para pemain menari-nari di lapangan, mengotak-ngatik si kulit bundar hingga akhirnya sebuah gol tercipta. Semua yang dilakukan pemain tersebut buat sebuah ketidaksengajaan, semuanya by design, alias sudah diatur sedemikian rupa oleh seorang pelatih.

Semua pemain bergerak dengan arahan sang pelatih. Semua bekerja sama , bahu membahu untuk tujuan yang satu, gol emas. Seperti itulah seharusnya sebuah perjuangan. Harus ada qiyadah (kepemimpinan) yang kuat dan siyasah (strategi) yang jitu, dan disokong oleh tim yang solid.

Dengan demikian kemenangan akan mudah diraih insya Allah. Langsung to the point. Di FORUM ASWAJA PH6 hemat saya harus diterapkan Qiyadah dan siyasah ini, agar tujuan memerangi paham wahabi di ph6 ini tuntas dan tidak berlarut-larut. Saya pribadi juga mau segera menjalani kehidupan beribadah yang tenang. Tanpa diteriaki bid’ah, sesat dan masuk neraka lagi.

Bagi-bagi peran dan fungsi, lalu laksanakan dengan baik. Walau banyak asatidzah disini, dalam hal ini biarkan para Masyayikh disini yang menjalani fungsi qiyadah. Menyusun siyasah yang tangguh, efektif dan efisien. Kita yang dibawah sebagai tim. Tinggal melaksanakan, tanpa harus kebanyakan berdebat, yang nantinya malah meelemahkan kita sendiri. Sederhananya… Disuruh maju! ya maju, mundur! Ya mundur, pukul! ya pukul. Sederhana.

Terakhir, sempurna ikhtiar dengan do’a. Semoga Allah SWT merahmati seluruh umat Muhammad Saw ini. Aamiin.

-selesai-

Oleh : Abu Hanin

Related Articles

One Comment

Back to top button