Taujih

Tepatkah Penamaan Kafalah, Untuk Upah yang Diberikan Kepada Ustadz?

kafalahDalam kehidupan keberagamaan dalam Islam, mengundang guru, ustadz, mubaligh, Kyai, Habaib dalam sebuah acara keagamaan adalah sebuah kelaziman. Biasanya mereka diposisikan secara istimewa dan memiliki peran penting dalam keberlangsungan acara tersebut. Mereka biasa diminta untuk memimpin pembacaan al-Qur’an, dzikir, tahlil, sholawat dan memberikan nasehat agama kepada jama’ah.

Related Articles

Panitia acara atau pengundang biasanya mempersiapkan segala sesuatunya untuk setiap tamu undangan, terkhusus sang Ustadz. Ada yang menyediakan fasilitas antar jemput ustadz, konsumsi beraneka ragam, dan ruangan khusus untuk menjamu. Panitia tentunya berusaha sekali menjaga adab kepada tamu istimewa ini dan berusaha menghormati mereka dengan sebaik-baiknya. Karena bagaimana pun mereka inilah yang disebut sebagai Warasatul ambiya, atau pewaris para nabi. Tentunya mereka takut kualat jika dianggap tidak menghormati mereka, karena berarti tidak menghormati orang yang dimuliakan oleh Nabi Saw.

Setelah memberikan nasehat, atau memimpin dzkir dan do’a tibalah waktu sang ustadz pamit pulang. Panitia pun sudah mempersiapkan buah tangan untuk sang Ustadz. Tidak lupa bersalaman dan berjabat tangan sambil menyelipkan sebuah amplop digenggaman sang ustadz. Saling menebar senyum dan sapaan, maka berakhirlah rangkaian acara tersebut, alhamdulillah.

“Tadi kafalahnya sudah dikasihkan ke ustadz?”, tanya seorang panitia kepada temannya. “Sudah, aman!” tukasnya.

Nah, sekarang kita mulai masuk pembahasan. Karena memang sudah ada orang yang mengkritisi penggunaan kata kafalah untuk upah/hadiah/ongkos dakwah yang diberikan kepada ustadz yang diundang. Apakah sebenarnya kafalah itu? Apakah tepat penggunaannya ketika digunakan untuk menamai pemberian ke ustadz? Mari kita coba cari jawabannya.

Di Masjid al-Hijrah PH6, penggunaan kata kafalah di lingkungan masjid setahu penulis adalah sesuatu yang mafhum, lumrah dan sudah berlangsung sejak lama. Entah siapa orang yang awal menetapkan istilah kafalah ini untuk amplop ustadz? Tetapi sepertinya orang-orang atau jama’ah sudah mengerti maksud dan tujuannya.

Al-kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan za’amah (tanggungan). Sebagian orang memaknai Kafalah sebagai insentif. Dalam sebuah hadits Nabi Saw pernah bersabda:

kafalah 2

 

Perhatikan! Kata kafil dalam hadits tersebut adalah orang yang bertanggung jawab kepada kehidupan sang yatim. Dia yang mengurusi makan, kesehatan, keselamatan, Pendidikan sampai kelak yatim itu menikah.

Dalam syariat, Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga yang memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Bentuk tanggungan terkait tuntutan yang berhubungan dengan jiwa, hutang, barang, atau pekerjaan. Menurut hanafiyah dan Malikiyah, kafalah dan dhamman memiliki makna yang sama. Dan sampai sekarang istilah kafalah ini dipakai dalam usaha perbankan syariah.

Kembali kepada permasalahan amplop ustadz diatas. Apakah pemberian kepada para Ustadz yang mengisi acara itu laik disebut dengan kafalah? Apakah pemberian tersebut dapat menjadi jaminan kehidupan bagi sang ustadz? Tentu tidak kan?!. Karena kita harus jujur, kadang panitia, masjid atau mushola kurang juga menghargai ilmu dan ulama. Dan terkesan memberikan uang “seadanya, seikhlasnya, dan semau panitia“. Jadi boro-boro bisa menjadi jaminan penghidupan, lha wong amplopnya hanya cukup untuk bensin saja.

Apakah boleh memberi kafalah kepada Ustadz?

Pada asal hukumnya pemberian insentif kepada ustadz pengisi acara adalah sebuah fenomena yang baru di jaman modern ini. Kalau kita telisik di jaman Rasulullah, sahabat, tabi’in dan tabi’in pemberian hadiah dari jama’ah langsung berupa uang kepada juru dakwah tidak ditemukan. Lalu apakah berarti mereka tidak mendapatkan reward sama sekali?

Para juru dakwah dahulu mendapatkan insentif langsung dari negara. Anggarannya diambilkan langsung dari Baitul maal. Ada juga para aghniya/orang-orang kaya dermawan yang ikut ambil peran mensponsori dakwah mereka. Jadi sebenarnya mereka sudah mendapatkan kecukupan untuk penghidupan dan tidak perlu lagi mendapatkan bantuan dari jama’ah atau masyarakat. Namun kenyataan sekarang berubah. Perhatian pemerintah, khususunya Indonesia kepada kesejahteraan para ustadz sangatlah minim jika tidak mau disebut tidak ada. Perhatian para Aghniya kepada para ustadz juga sangat minim. Hanya para Aghniya yang mengetahui keagungan ilmu dan ulama yang bisa menghargai jasa dan peran mereka. Perubahan kondisi ini menjadi faktor keluarnya fatwa kebolehan guru agama atau penceramah menerima insentif dari masyarakat demi melestarikan syiar Islam.

Kenyataan ini menjadi topik khusus pembicaraan ulama-ulama muta’akhirin semisal Imam Ibnu Rusyd. Bersumber dari bahtsul masail NU di website https://nu.or.id/, Syekh Wahbah Zuhaili rahimahullah menjelaskannya sebagai berikut:

kafalah 3

Artinya, “Fatwa di zaman kita ini terkait kewajiban untuk memberikan insentif (lewat amplop atau rekening) atau pengupahan, hadir karena munculnya gejala keredupan masalah keagamaan, putusnya anggaran negara (baitul mal) untuk kerja-kerja guru, sedikitnya muru’ah orang-orang kaya. Semua ini berbeda dengan masa lalu di mana ulama Hanafiyah memakruhkan pemberian insentif atau amplop kepada mereka karena kegigihan orang di masa lalu dalam melakukan hisbah (semacam amar makruf dan nahi munkar), banyaknya anggaran negara untuk mereka, dan kekuatan muruah pada pengusaha dan orang-orang kaya untuk membantu memberikan insentif sehingga mereka tidak memerlukan insentif atau amplop (dari masyarakat), semata menegakkan hisbah,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Subulul Istifadah minan Nawazil wal Fatawa wal Amalil Fiqhi fit Tathbiqatil Mu‘ashirah, [Damaskus, Darul Maktabi: 2001 M/1421 H], cetakan pertama, halaman 23).

Pilih istilah yang mana?

Sebenarnya ada dua istilah lain yang dapat dipakai sebagai alternatif apabila disepakati penamaan kafalah kurang tepat, yaitu Ujroh ‘ala Thoah dan Bisyarah. Ujroh ‘ala thoah adalah upah yang diberikan karena keta’atannya dalam melaksanakan tugas, dalam hal ini tugas keagamaan. Penulis cenderung mengkategorikan pekerjaan seperti imam rawatib, muadzin, marbot termasuk kepada upah Ujroh ‘ala thoah.

Sedangkan bisyarah berasal dari Bahasa Arab yang artinya adalah kabar gembira. Secara definitif dimaknai dengan upah yang diberikan secara cuma-cuma dalam mengerjakan suatu kebaikan, jadi semacam ungkapan terimakasih karena mau melakukan sesuatu dalam hal ibadah. Kata bisyarah ini menurut penulis cocok dipakai untuk juru dakwah, ustadz, Kyai dan habaib yang mengisi di sebuah acara keagaamaan. Dipakainya kata bisyarah dirasa tepat untuk menghindari anggapan dakwah adalah suatu pekerjaan yang wajib diberikan gaji atau upah laiknya sebuah profesi. Apalagi jika ada bentuk pasang tarif dari sang ustadz itu sendiri yang terkesan bisnis kapitalis.

Tinggal sekarang terserah kita, mau tetap memakai istilah kafalah? Atau memakai istilah bisyarah, silahkan mau pilih yang mana?

Nakhtatim bil hamdallah.

Oleh: Abinya Hanfeiz

Related Articles

Back to top button