Apakah boleh memanfaatkan barang gadaian?

Sabtu, 1 Januari 2022. Sedang santai sambal membaca-baca komik anak saya yang kebetulan tergeletak di Kasur. Sebuah komik dakwah sebenarnya ditujukan kepada anak-anak maupun remaja. “Pengen Jadi Baik 5”, itulah judulnya. Komik dengan pengarang yang menuliskan inisial Namanya dengan SQU ini sebenarnya cukup menarik. Gambar-gambar kartun, dibalut dengan cerita-cerita keseharian dengan bahasa-bahasa yang santai dan humor tentu akan memanjakan mata setiap pembaca. Metode cerita adalah cara terbaik berdakwah tanpa harus menggurui. Apalagi yang pengarang mempunyai skill menggambar yang baik. Wah… TOP pokoknya, suatu anugerah yang patut disyukuri.

Namun setiap tulisan tetap tergantung kepada penulis itu sendiri. The Man behind the Gun adalah syarat mutlak sebuah tulisan itu bermakna atau tidak? Ide-ide yang tertuang adalah hasil input yang di dapat olehnya sebagai sebuah pengalaman, pengamatan, bacaan, diskurs atau pun mungkin indoktrinisasi dari sebuah pemahaman.

Mau ngomongin apaan sih sebenarnya? Cepetan…

Oke, sabar… sabar … orang sabar pahalanya besar. Straight to the point. Sebenarnya saya sedikit terusik dengan isi materi dari komik tersebut. Ide-ide cerita yang dituangkan berdasarkan pemahaman islam yang kategori kaku (menurut saya), dan hanya tendensius kepada satu mazhab. Apalagi sang pengarang mengambil ranah yang disitu banyak diikhtilafkan oleh para ulama.

Apakah semua materi dibuku itu semua seperti itu?

Ya tidak semua. Anjuran-anjuran sederhana yang mengajarkan kebaikan sih oke. Tidak ada masalah, tetapi mengangkat sebuah tema yang mengandung sebuah hukum, lalu dia vonis hukum tersebut dengan sebuah hukum yang pengarang anggap sebuah kebenaran, disinilah letak ketidak-sreg-an saya sebagai pembaca.

Konkretnya aja MASE, tidak usah bertele-tele… Wetenge wes kencot !

Siap Pakde ! Contohnya seperti ini… dalam komik tersebut membahas tentang Hukum memanfaatkan barang gadaian. Dikatakan memanfaatkan barang gadaian adalah HARAM MUTLAK baik untuk Rahin ataupun Murtahin. Diijinkan atau tidak diijinkan tetap Haram. Dan hasil yang dimanfaatkan adalah riba. Apa benar seperti itu pendapat para ulama fikih? Jadi penasaran…..

Yuk kita buka-buka kitab lagi, untuk menambah khasanah keilmuan kita. Apakah benar seperti itu? Apakah Pakde siap belajar ?

Okeh. Siapa takut !! Bismillah…

Pertama-tama yang harus kita ketahui dari gadai itu menurut islam apa? Satu. Gadai dalam Bahasa Arab adalah رَهْن / Rahn. Adapun secara definitif dalam ilmu fiqh adalah :

جَعْلُ عَيْنٍ مَالِيَةٍ وَثْيْقَةً بِدَيْنٍ يُسْتَوْفَى مِنْهَا أَوْ مِنْ ثَمَنِهَا إِذَا تَعَدَّرَ الوَفَاءُ

Menjadikan ain suatu harta sebagai jaminan atas hutang, yang bisa dilunasi dengan harta itu atau dengan harganya apabila hutang itu tidak bisa dibayar.

Dengan kata lain, RAHN adalah menyimpan sementara harta milik orang yang berhutang, sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan oleh orang yang memberikan hutang.

Sebelumnya kita harus mengetahui istilah-istilah fikih yang digunakan dalam RAHN ini, sebagai berikut:

  1. Ar-Rahin / الرَّاهِن

Orang yang menggadaikan barang, sekaligus yang meminjam uang.

  1. Al-Murtahin / المُرْتَهِن

Orang yang menerima barang gadaian, sekaligus yang meminjamkan uang.

  1. Al-Marhun atau Rahn / المَرْهُوْن

Barang yang dijadikan gadaian.

  1. Al-Marhun bihi / المَرْهُون بِهِ

Uang yang dipinjamkan lantaran adalah jaminan gadai.

  1. Al-Aqdu / العقد

Akad, atau kesepakatan untuk melakukan transaksi rahn.

Barang gadaian dapat diambil Kembali oleh pemiliknya setelah ditebus pada waktu tertentu sesuai kesepakatan.

 

Sebenarnya apa sih hukumnya Rahn ?

Asal Hukumnya boleh dan halal. Bukankah Rasululullah Saw pernah menggadaikan baju besinya untuk membeli makanan keluarganya? Bahkan sampai akhir hayatnya baju besi Rasulullah Saw itu masih tergadai kepada si Yahudi dengan harga 30 Sha Gandum. (HR. Bukhori).

Kalau sampai wafat tidak bisa membayar hutang, sedang barangnya masih tergadai ke orang bagaimana?

Al-Marhun atau rahn tetap menjadi milik ar-Rahin. Dalam kasus ini Hakim bisa menyuruh untuk menjual barang gadaian tersebut. Jika nominalnya mencukupi maka diberikan kepada al-Murtahin. Tetapi jika hasil penjualan melebihi hutangnya ar-Rahin, maka selisihnya diberikan kepada ahli waris ar-Rahin tadi.

Jika saya mendapat gadaian sepeda motor dari teman saya, apakah saya boleh memakainya untuk jalan-jalan?

Nah disinilah letak ikhtilafnya para ulama. Kita sebagai orang awam tidak bisa seenaknya memvonis tanpa mengetahui duduk perkaranya. It’s oke jika pemahaman itu untuk konsumsi pribadi, namun jika diajarkan kepada khalayak ramai tanpa menyebutkan dasar pemikirannya darimana, inilah awal sebuah bencana.

Di masa Rasulullah Saw Pratik Rahn ini biasa dilakukan. Dahulu ada orang yang menggadaikan kambingnya. Lalu Rasulullah Saw ditanya, apakah boleh diperah kambing tersebut? Lalu Nabi Saw mengizinkan, sekedar untuk menutup biaya pemeliharaan.

Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang ijtihad para pengkaji keuangan Syariah, sehingga gadai atau rahn ini sebuah produk keuangan Syariah yang cukup menjanjikan.

Terkait hal ini, para ulama berbeda pendapat menyikapi persoalan ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian yang lain tidak.

Ulama mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa bagi Murtahin (penerima gadai) tidak boleh memanfaatkan barang gadaian meskipun dengan seizin Rahin (pegadai), karena hal tersebut termasuk riba.

Adapun ulama mazhab Maliki dan Syafii mengatakan bahwa Murtahin boleh memanfaatkan barang gadaian selama atas izin si Rahin. Bahkan mazhab Maliki menekankan agar manfaat atau kegunaan dari barang gadaian tidak menjadi sia-sia, maka Rahin boleh mengizinkan Murtahin untuk memanfaatkannya.

Misalnya, yang digadaikan adalah tanah. Jika tanah itu adalah berupa tanah persawahan atau tanah ladang, membiarkannya untuk tidak dikelola, justru akan berakibat pada rusaknya struktur tanah dan bahkan bisa berubah fungsi. Nah untuk hal ini, Murtahin boleh memanfaatkannya.

Lebih lanjut dalam pandangan Maliki, buah atau manfaat apapun tetap menjadi milik Rahin, selama Murtahin tidak mensyaratkan (barang gadaian tersebut). Ada tiga syarat agar Murtahin dapat memanfaatkan Rahn, yaitu:

  1. Hutang itu terjadi karena jual beli barang, bukan karena pinjaman. Seperti Ketika seseorang menjual tanah atau barang dagangan lainnya dengan kesepakatan harganya di bayar kemudian. Lalu ia meminta gadai atas hutangnya tersebut.
  2. Murtahin mensyaratkan manfaat Rahn/barang gadai tersebut untuk dirinya. Jika Rahin secara suka rela menyerahkan manfaat rahn, maka tidak boleh diambil.
  3. Masa manfaatnya ditentukan dengan jelas. Jika tidak ditentukan maka tidak sah.

Sementara itu, dalam kasus kedua, bagaimana hukumnya jika barang gadaian tidak berpindah dan tetap dimanfaatkan oleh Rahin?

Terkait kasus ini, ulama berbeda pendapat tentang hukum Rahin dalam menggunakan atau memanfaatkan barang yang ia gadaikan. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa Rahin (pegadai) tidak boleh memanfaatkan barang gadaiannya kecuali dengan seizin Murtahin (penerima gadai).

Di dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan:

فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ لَيْسَ لِلرَّاهِنِ وَلَا لِلْمُرْتَهِنِ اْلِانْتِفَاعُ بِالْمَرْهُوْنِ مُطْلَقًا، لَا بِالسُّكْنَى وَلَا بِالرُّكُوبِ، وَلَا غَيْرِهِمَا، إِلاَّ بِإِذْنِ الآخَرُ، وَفِي قَوْلٍ عِنَدَهُمْ‏:‏ لَا يَجُوزُ الْاِنْتِفَاعُ لِلْمُرْتَهِنِ وَلَوْ بِإذْنِ الرَّاهِنِ‏‏ لِأَنَّهُ رِبًا

Maka Hanafiyah berpendapat bahwa sesungguhnya Rahin dan penerima gadaian tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan secara mutlak, baik dengan menempati (rumah yang digadaikan), menaiki kendaraan (yang digadaikan), ataupun selainnya, kecuali dengan seizin pihak lainnya. Dalam satu pendapat menurut mereka, bagi penerima gadai (murtahin) tidak boleh memanfaatkan barang gadaian meskipun dengan seizin Rahin (pegadai), karena itu riba.

Pernyataan di atas menegaskan bahwa baik Rahin dan penggadai (penerima gadaian) tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan secara mutlak

Mazhab Hanafi beralasan bahwa murtahin memiliki hak yang tetap dalam menahan barang gadaian. Oleh karena itu, Rahin tidak boleh menarik kembali barang gadaiannya untuk dimanfaatkan atau digunakan. Jika Rahin memanfaatkan barang gadaian tanpa seizin murtahin, maka ia harus mengganti nilai (harga) yang ia manfaatkan.

Pendapat mazhab Hanbali sama dengan mazhab Hanafi, yaitu Rahin tidak boleh menggunakan barang gadaian kecuali atas izin atau kerelaan dari penerima gadai. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh mazhab Maliki. Bahkan pendapat mereka lebih ketat dibanding mazhab Hanafi dan Hanbali.

Menurut mazhab Maliki, jika Murtahin mengizinkan Rahin untuk memanfaatkan barang gadaian, maka akad gadainya menjadi batal, karena pemberian izin tersebut dianggap mengabaikan kewajibannya dalam gadai. Agar manfaat atau kegunaan dari barang gadaian tidak menjadi sia-sia, maka Rahin boleh mengizinkan Murtahin untuk memanfaatkannya.

Sementara itu, pendapat mazhab Syafii berbeda dengan tiga mazhab lainnya, di mana Rahin boleh memanfaatkan barang gadaian selama tidak mengurangi nilai (harga) barang gadaian, karena manfaat dari barang gadaian adalah milik Rahin.

Misalnya, Aldo butuh uang dan ia punya emas, sementara ia punya teman bernama Beni yang punya uang. Aldo lalu menggadaikan emasnya ke Beni. Maka Aldo boleh memanfaatkan barang gadaiannya (emas), seperti memakainya untuk perhiasan karena emas itu tidak (mungkin) berkurang nilainya. Walau sebenernya saya juga kurang yakin sih tentang tetap nilai emas. Karena saya punya pengalaman melihat perdebatan orang yang sedang transaksi menjual emasnya di ANTAM. Menurut petugas nilai dari emas batangan itu berkurang dikarenakan si empunya menyentuhnya dengan tangan secara langsung. Hmm… kalau begitu kaidah fikih jadul, yang menyebut nilai ema situ tetap bisa berubah nih ! Masya Allah.

Mereka (ulama syafii) juga beralasan bahwa hutang—yang menjadi penyebab terjadinya gadai—tidak berkaitan dengan manfaat barang gadaian. Meskipun demikian, hak menahan barang gadaian tetap berada di tangan murtahin. Pendapat mereka juga didasarkan pada sabda Rasulullah ﷺ:

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ

Punggung kendaraan boleh dinaiki jika tergadai, susu boleh diminum jika tergadai, dan bagi orang yang menaiki dan meminum wajib memberikan nafkahnya (biaya perawatan) (HR. Ibnu Majah no. 2440).

Pendapat mazhab Syafii ini di antaranya diungkapkan oleh ulama Syafii Imam Ar-Ramli:

وَلَهُ أَيْ لِلرَّاهِنِ كُلُّ انْتِفَاعٍ لَا يَنْقُصُهُ أَيْ الْمَرْهُونَ

Bagi Rahin boleh memanfaatkan barang secara penuh yang tidak mengurangi (nilai) barang gadaian.

Adapun hukum rahn di mana Murtahin mensyaratkan agar Rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadaian, maka sah menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Hal yang sama juga dikemukakan mazhab Syafii, jika pemanfaatan tersebut dikhawatirkan mengurangi nilai jual barang gadaian. Namun, jika pemanfaatannya tidak mengurangi nilai barang, maka hukum gadai dengan syarat demikian juga sah, namun syarat tersebut batal (tidak berlaku).

Berdasarkan kasus di atas, menurut mazhab Syafii, sahabat bisa menggunakan barang yang sahabat gadaikan ke Murtahin selama nilai barang itu tidak berkurang atau menyusut nilainya, seperti emas.

Kembali pada pertanyaan diatas, bagaimana jika barang yang dimanfaatkan tersebut adalah motor? Jika ada yang berpendapat pemakaian motor menyebabkan nilainya menyusut, maka hal tersebut tidak boleh. Diperbolehkan apabila ada izin dari Rahin. Begitupun sebaliknya, jika Rahin ingin memanfaatkan rahn, maka ia harus mendapat izin dari Murtahin.

Amannya sih menurut saya, silahkan dimanfaatkan tetapi harus tanggung jawab dengan biaya pemeliharaannya. Habis makai bensin diisi, waktunya di servis ya masukkan ke bengkel untuk diservis. Maka menurut saya ini selamat dari khilaf dengan merujuk dari hadist Ibnu Majah di atas.

Adapun mazhab Hanafi, dan Hanbali menyatakan Rahin dan Murtahin tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan secara mutlak, kecuali dengan seizin pihak lainnya. Bahkan, dalam satu pendapat menurut mazhab Hanafi, bagi Murtahin(murtahin) tidak boleh memanfaatkan barang gadaian meskipun dengan seizin Rahin (rahin), karena itu dianggap riba.

Wallahu a’lam bish-shawab.

-Abinya Hanfeiz-

Sumber bacaan :

Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh; Wahbah Az-Zuhaili, Nihayah Al-Muhtaj; Syamsuddin Ar-Ramli.

Fikh Empat Mazhab. Abdurrahman al-Jaziri

Kifayatul Akhyar fi Hal Ghayatil Ikhtisar. Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad al-Huseini

Seri Fiqih Kehidupan : Muamalat. Ahmad Sarwat

www.kesan.com

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Home
Berita
Donasi
Jadwal